Opini  

Harmoni Ilahi dari Jawa Barat

Ummu Fahhala, S.Pd. (Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

LingkarJabar – Seni adalah nafas kehidupan. Ia menghidupkan perasaan, menggugah kesadaran, dan menyampaikan pesan yang tak selalu bisa dijelaskan dengan kata-kata biasa. Dalam bentuknya yang luhur, seni mampu menjadi jembatan antara manusia dan nilai-nilai kebaikan. Musik, sebagai bagian dari seni, bukan hanya hiburan, tapi juga sarana pendidikan, pembinaan karakter, dan bahkan dakwah.

Dalam semangat inilah, Jawa Barat kini diarahkan untuk menjadi pusat seni musik Islam di Indonesia. Sebagaimana disampaikan oleh K.H. Maman Imanulhaq, “Ini bukan sekadar pelestarian tradisi, tapi gerakan kultural yang membumikan nilai-nilai ilahiah di tengah masyarakat.” Melalui Lembaga Seni Qasidah Indonesia (LASQI) Jawa Barat, provinsi ini bertransformasi menjadi lokomotif gerakan seni musik Islam yang inklusif, adaptif, dan berpijak pada budaya lokal.

Gagasan menjadikan Jawa Barat sebagai pusat seni musik Islam adalah angin segar di tengah gempuran budaya global yang sering kali abai pada nilai spiritual. Namun, agar gerakan ini benar-benar menjadi gerakan peradaban, bukan sekadar seremoni budaya, maka prinsip syariat harus menjadi fondasi utama.

Baca Juga :  Tangis Arafah dan Luka Umat

Inisiatif mulia ini tentu membutuhkan kebijaksanaan besar agar seni tak hanya menjadi ekspresi budaya, tetapi juga tetap berada dalam koridor syariat Islam. Sebab, tidak semua bentuk seni dan kebudayaan lokal otomatis sejalan dengan nilai-nilai Islam. Maka, persoalan pentingnya bukan menjadikan Islam harus menyesuaikan diri dengan budaya, tapi justru bagaimana budaya disaring, dibimbing, dan diarahkan sesuai nilai-nilai Islam.

Antara Budaya dan Syariat

Jawa Barat memang kaya akan ekspresi budaya, dari seni suara, musik tradisional, hingga pertunjukan rakyat. Namun, budaya bukanlah sesuatu yang “suci”. Budaya adalah produk manusia yang bisa baik atau buruk, tergantung dari nilai yang melatarbelakanginya. Karena itu, menjadikan budaya sebagai medium untuk menyampaikan pesan-pesan Islam tentu harus diawali dengan satu prinsip penting: Islam sebagai standar, bukan budaya.

Baca Juga :  Menelisik Akar Masalah Perempuan Jabar, Refleksi dan Solusi

Seringkali, justru budaya modern hari ini sarat dengan nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam—mulai dari glorifikasi kebebasan tanpa batas, materialisme, hingga hedonisme. Jika seni dan budaya ingin dijadikan alat perjuangan Islam, maka harus dikawal agar tidak menyimpang dari syariat.

Allah Swt. berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)

Islam hadir bukan untuk menindas budaya, tetapi untuk menyucikannya. Ketika seni musik Islam ditampilkan, maka isinya harus membawa pesan-pesan tauhid, akhlak, kesadaran sosial, dan kebaikan universal. Bukan sekadar indah di telinga, tapi juga menyejukkan hati dan memperkuat keimanan.

Seni dalam Islam

Dalam sejarah Islam, seni bukanlah hal asing. Seni tidak dilarang Rasulullah Saw., selama tidak mengandung unsur maksiat. Para sahabat pun menggunakan syair dan lagu untuk menyemangati pasukan, menyampaikan pesan moral, dan merayakan momen penting.

Baca Juga :  Partisipasi Anak di Tengah Gempuran Program Sekolah Rakyat

Hassan bin Tsabit, salah seorang penyair Rasulullah Saw. yang membela Islam dengan syair-syairnya. Ada pula nyanyian para sahabiyah saat menyambut Rasulullah Saw. di Madinah, seperti “Tala’al Badru ‘Alayna”, yang hingga kini tetap dikenal sebagai salah satu karya seni Islami yang penuh makna.

Islam tidak anti seni, tapi menuntut agar seni diarahkan pada kebaikan dan tidak melanggar syariat. Seni yang merangsang hawa nafsu, memicu kelalaian, atau menjauhkan dari Allah Swt. bukan seni dalam pandangan Islam. Maka, Jawa Barat sebagai pusat seni musik Islam harus menjadi pelopor seni yang memperkuat iman dan identitas Islam.

Pendidikan seni berbasis Islam juga perlu dikembangkan agar generasi muda tidak hanya pandai bermusik, tapi juga memiliki kesadaran akidah yang kuat dan tanggung jawab dakwah.

Penulis : Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)