BANJAR. LingkarJabar – Musyawarah Daerah (Musda) Perhimpunan Remaja Masjid (PRIMA) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Kota Banjar memicu polemik. Hal ini menyusul pelaksanaan dua Musda dalam waktu berdekatan, yakni Musda I yang digelar pada Minggu, 27 April 2025 di Aula Gedung DPRD Kota Banjar, dan Musda II yang berlangsung pada Sabtu, 3 Mei 2025 di Gedung Dakwah, Jalan Kewadanaan, Kota Banjar.
Musda II yang dianggap sebagai Musda tandingan tersebut justru dihadiri berbagai pihak penting, mulai dari unsur Forkopimda, Wali Kota Banjar, perwakilan Polres dan Koramil Banjar, Kementerian Agama, Ketua Harian MUI, Ketua DMI Kota Banjar, Ketua Yayasan Masjid Agung Baiturrahman, hingga Ketua PRIMA Jawa Barat. Tidak ketinggalan, perwakilan IRMA/PRIMA dari tiap desa/kelurahan di Kota Banjar turut hadir, masing-masing mengirim tiga utusan, termasuk Ketua DMI dari setiap kecamatan.
Ketua Umum PRIMA Jawa Barat, Aqil Nawawi, memberikan klarifikasi terkait polemik ini. Menurutnya, Musda II adalah kegiatan resmi yang mendapatkan restu dari DMI sebagai induk organisasi. Ia menegaskan bahwa Musda I yang sebelumnya digelar tidak melalui koordinasi yang semestinya dengan DMI.
“Ini Musda II yang sudah mendapat restu dari ayahanda kita, DMI. Sebelumnya ada oknum yang mengatasnamakan PRIMA menggelar Musda tanpa koordinasi, tanpa mengedepankan etika organisasi sebagaimana diatur dalam AD/ART,” ujar Aqil.
Ia menekankan pentingnya etika dalam berorganisasi, terlebih dalam lingkup organisasi remaja masjid yang semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai akhlak dan koordinasi.
“Jika kita mengedepankan etika sesuai AD/ART, tentu DMI akan merestui. Tapi yang terjadi, oknum tersebut justru bertindak sepihak,” lanjutnya.
Aqil mengakui bahwa dinamika organisasi adalah hal lumrah. Namun, menurutnya, semua pihak harus mengedepankan aturan dan etika dalam menyikapinya. Ia menilai Musda II telah sesuai AD/ART dan etika organisasi, serta melibatkan banyak pemangku kepentingan dalam pembangunan IRMA di Kota Banjar.
Mengenai legalitas organisasi, Aqil menyatakan bahwa PRIMA tetap sah secara struktural. Namun, menurutnya, oknum yang menggelar Musda I cenderung mengedepankan kepentingan sendiri dan tidak mengikuti koordinasi yang seharusnya dilakukan dengan wilayah dan daerah.
“Kalau mereka punya kebijakan sendiri tanpa koordinasi, itu bukan tanggung jawab PRIMA Wilayah Jawa Barat. Menurut saya, itu tindakan brutal secara organisasi,” tegas Aqil.
Ia juga menyoroti sikap inkonsistensi dari pihak pusat yang selalu menggaungkan ketaatan terhadap AD/ART, tetapi justru tidak menerapkannya sendiri.
“Kalau bicara AD/ART, pimpinan pusat sudah melewati batas usia maksimal yaitu 40 tahun, sebagaimana diatur dalam AD/ART DMI tahun 2017,” ungkapnya.
Aqil menyayangkan tidak adanya komunikasi dan koordinasi dari pihak pusat kepada wilayah maupun kota/kabupaten, yang justru kerap melakukan intervensi sepihak.
“Sebagai Ketua Umum wilayah, saya dan wakil ketua bidang keorganisasian tidak pernah menerima koordinasi atau instruksi. Alih-alih membentuk, oknum ini malah merusak,” pungkasnya.
Sementara itu, Ketua DMI Kota Banjar, H. Jalal, mengaku tidak mengetahui adanya Musda I yang digelar sebelumnya karena tidak pernah menerima undangan.
“Saya tidak tahu menahu soal pelantikan mereka karena tidak diundang. Mereka bilang itu mandat dari pusat, padahal PRIMA itu masih di bawah naungan DMI. Jadi semestinya ada koordinasi,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa PRIMA di daerah seharusnya diajak duduk bersama oleh PRIMA pusat, mengingat masa kepengurusan yang sudah berjalan tiga tahun dan memang sudah waktunya Musda.
“Saya pengurus DMI Kota Banjar tidak tahu ada Musda. Tiba-tiba ada pelantikan. Padahal Musda seharusnya digelar tiga tahun sekali, dan DMI lima tahun sekali,” tutup H. Jalal. (Joe)